CIAMIS, EDU, (GNC);- Tingkat partisipasi pendidikan tinggi nasional pada 2022 hanya mencapai 31,16 persen dari jumlah penduduk.
Masih rendahnya angka ini menempatkan Indonesia pada urutan ke-92 dalam peringkat partisipasi pendidikan tinggi global, menurut Institut Statistik UNESCO.
Padahal, menurut Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), pendidikan tinggi berperan sentral menggerakkan daya saing ekonomi nasional terutama di era perekonomian global yang kian bergantung pada pengetahuan.
Sejalan dengan Visi Emas Indonesia untuk menjadi perekonomian utama dunia pada 2045, pendidikan tinggi hendaknya menjadi indikator utama dalam mengukur keberhasilan pembangunan nasional.
Namun, masih disayangkan bahwa pendidikan tinggi belum menjadi hak yang dapat diakses oleh semua orang.
baca juga: Mengenal Biji Rami Serta Manfaatnya
Data Kemendikbudristek pada 2022 mencatat bahwa jumlah mahasiswa hanya mencapai 7,88 juta. Padahal jumlah penduduk rentang usia 19 hingga 29 tahun mencapai 44,95 juta jiwa.
Artinya, hanya 1 dari 6 orang yang memiliki akses untuk mengejar pendidikan tinggi.
Tantangan Keterjangkauan Rendahnya partisipasi pendidikan tinggi merupakan masalah kompleks dengan beragam akar penyebab.
Salah satu faktor sentral yang terus menghambat akses adalah tak terjangkaunya biaya pendidikan tinggi.
Menurut Statistik Penunjang Pendidikan 2021 yang dirilis Badan Pusat Statistik, rata-rata biaya pendidikan tinggi per tahun mencapai Rp 14,47 juta.
Sementara itu, rata-rata upah nasional pada awal 2023 hanya sekitar Rp 2,94 juta per bulan, setara dengan Rp 35,28 juta per tahun.
Tingginya biaya ini bukan saja menjadi kendala, tetapi juga terus mengalami kenaikan setiap tahunnya.
Pada Juli 2022, hasil analisis yang mengestimasi kenaikan biaya perkuliahan sebesar 1,3 persen sampai 6,96 persen setiap tahunnya di perguruan tinggi negeri dan swasta.
Maka, pada 2030, perkiraan total biaya menyelesaikan perkuliahan bisa mencapai angka fantastis, yaitu Rp 430 juta.
Kuliah kedokteran menjadi salah satu contoh representatif. Dalam studi Indeks Harga Pendidikan 2022 oleh Bank Jerman N26, Indonesia menempati peringkat ke-8 dengan biaya pendidikan tinggi kedokteran termahal di dunia.
Mirisnya, Indonesia sejatinya menghadapi kekurangan tenaga kedokteran, menempati peringkat ke-56 terendah di dunia dalam hal ketersediaan tenaga medis, menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Selain itu, masalah geografis juga menjadi kendala serius. Tidak meratanya sebaran perguruan tinggi menciptakan kesenjangan akses pendidikan tinggi yang signifikan antarwilayah.
Contohnya, di Kepulauan Bangka Belitung, hanya terdapat 17 perguruan tinggi di saat jumlah siswa aktif sekolah menengah atas dan kejuruan (SMA/K) mencapai 56.000 orang.
Akibatnya, tingkat partisipasi pendidikan tinggi di provinsi tersebut hanya sebesar 14,85 persen, menjadi yang terendah di seluruh negeri.
Situasi serupa juga terjadi di Papua, yang tingkat partisipasinya sebesar 20,08 persen. Dengan 46.000 siswa jenjang SMA/K, hanya terdapat 46 perguruan tinggi.
Tercatat, hanya 0,46 persen dari 317.000 penduduk usia 20-24 tahun yang mengenyam pendidikan tinggi. Di sisi lain, Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki 126 perguruan tinggi dengan jumlah peserta didik SMA/K sebanyak 150.000 siswa.
Dampaknya positif, Yogyakarta menjadi provinsi dengan tingkat partisipasi tertinggi mencapai 75,59 persen.
Meski ini adalah pencapaian luar biasa, terdapat gambaran kesenjangan akses yang mencolok hingga 60 persen jika dibandingkan dengan di Kepulauan Bangka Belitung.
Peningkatan Akses Dibutuhkan kebijakan yang mendukung perbaikan kondisi ekonomi dan sebaran geografis untuk meningkatkan akses terhadap pendidikan tinggi.
Kita dapat mengambil contoh dari Korea Selatan, yang berdasarkan data OECD, menjadi negara dengan partisipasi pendidikan tinggi terbesar di dunia, mencapai angka 69 persen.
Salah satu langkah penting yang diambil oleh Pemerintah Korea Selatan adalah melalui implementasi Proyek Universitas Global pada 2023.
Kebijakan ini akan memberikan dukungan keuangan kepada 30 universitas daerah selama lima tahun dengan total dana mencapai Rp 35 triliun.
Pendekatan ini telah membantu memperluas jangkauan pendidikan tinggi di negara tersebut.
Indonesia juga telah menerapkan sejumlah kebijakan untuk mendukung akses pendidikan tinggi.
Salah satu instrumen penting dalam upaya ini adalah Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), yang telah mengelola dana abadi lintas pendidikan dengan total aset mencapai Rp 139,1 triliun hingga Juni 2023.
Pada tahun ini saja, program beasiswa LPDP telah memberikan bantuan kepada lebih dari 7.000 mahasiswa, yang akan turut tergabung bersama lebih dari 35.000 mahasiswa penerima beasiswa LPDP selama 10 tahun terakhir.
Selain itu, anggaran pendidikan nasional senilai Rp 237,1 triliun tahun ini juga akan turut dialokasikan untuk melanjutkan program Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-Kuliah).
Bantuan pendidikan ini akan diberikan kepada 185.000 mahasiswa di seluruh negeri, dengan 53,8 persen di antaranya berasal dari latar belakang sosial-ekonomi terbatas.
Pembangunan infrastruktur juga telah menjadi fokus dalam upaya meningkatkan akses pendidikan tinggi.
Sejak 2013, jumlah perguruan tinggi di Indonesia telah meningkat sebesar 26 persen, dari 3.181 menjadi 4.004 pada 2022.
Upaya pemerataan akses juga diperkuat dengan pendirian perguruan tinggi di daerah afirmasi. Sepanjang 2022 saja, terdapat tambahan 9 perguruan tinggi di Nusa Tenggara dan Papua.
Selain itu, program beasiswa afirmasi juga menjadi bentuk dukungan bagi kelompok masyarakat di daerah dengan kesulitan akses untuk dapat memperoleh pendidikan tinggi.
Namun, perlu diingat bahwa dukungan kebijakan anggaran dan pembangunan infrastruktur saja tidak cukup.
Masyarakat juga memegang peran penting dalam membangun partisipasi pendidikan tinggi.
Kesadaran akan pentingnya pendidikan setinggi mungkin dalam pembangunan nasional adalah langkah pertama yang krusial.
Dengan kolaborasi dan kesadaran ini, kita bersama-sama dapat mewujudkan sistem pendidikan tinggi terbuka bagi setiap warga negara, menjadikan pendidikan tinggi sebagai kendaraan untuk mencapai Visi Emas 2045 dan menjawab tantangan global di masa depan. (Galih)***
Referensi : https://www.kompas.com/edu/read/2023/09/21/073000271/pendidikan-tinggi-bagi-semua-orang?page=all#page4