(Refleksi Hari Pahlawan 10 November 2021)
Oleh : Dr. Heri Solehudin Atmawidjaja*)
Kita tentu sangat familiar dengan istilah Jasmerah yang artinya Jangan sekali-kali melupakan sejarah, istilah yang awalnya dipopulerkan oleh Presiden Pertama RI Ir. Soekarno itu telah menjadi prinsip kita Bangsa Indonesia untuk selalu mengenang jasa dan perjuangan para founding father kita, para pahlawan kita, para pendahulu kita yang telah mengorbankan jiwa, raga dan hartanya dalam mencapai kemerdekaan. Kita tentu tahu bahwa setiap tanggal 10 November Bangsa Indonesia memperingati Hari Pahlawan sebagai bentuk penghormatan kita semua sebagai generasi penerus bangsa terhadap jasa-jasa para pahlawan kita, semua tidak terlepas dari sejarah perjuangan Bangsa Indonesia terutama rakyat Surabaya atau yang lebih dikenal dengan arek-arek Suroboyo dalam mengusir tentara Inggris dan Belanda yang coba ingin kembali menjajah Indonesia setelah Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945.
Sejarah Hari Pahlawan
Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, situasi Indonesia belum stabil, saat itu Indonesia masih bergejolak terutama antara rakyat dan tentara asing. Pada tanggal 10 November 1945 terjadi pertempuran besar paska kemerdekaan, yang dikenal juga sebagai pertempuran Surabaya. Tentara Inggris tergabung dalam AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) datang bersama dengan tentara NICA (Netherlands Indies Civil Administration). Tugas mereka adalah melucuti tentara Jepang dan memulangkan mereka ke negaranya, membebaskan tawanan perang yang ditahan oleh Jepang, sekaligus mengembalikan Indonesia kepada pemerintahan Belanda sebagai negara jajahan. Hal ini memicu kemarahan warga Surabaya, mereka menganggap Belanda menghina Kemerdekaan Indonesia dan melecehkan bendera Merah Putih. Tak hanya itu, merekapun meminta orang Indonesia menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas dengan batas ultimatum pada pukul 06.00 WIB, tanggal 10 November 1945. Ultimatum tersebut membuat rakyat Surabaya marah hingga terjadi pertempuran yang sering kita kenal dengan pertempuran 10 November.
Peristiwa bersejarah adalah makna penting dalam perjalanan suatu bangsa, bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak akan pernah melupakan sejarahnya, itulah pentingnya sejarah bukan hanya sekedar dicatat dan dikenang tetapi juga diperingati. Terdapat ungkapan yang populer menyebutkan bahwa “Bangsa yang besar ialah bangsa yang menghargai dan menghormati jasa pahlawannya”. Apabila bangsa tidak memiliki pahlawan berarti sama saja bahwa bangsa tersebut tidak mempunyai hal yang dibanggakan. Apabila suatu bangsa tak mempunyai sosok yang patut untuk dibanggakan, maka bangsa itu merupakan satu bangsa yang belum memiliki harga diri. Terdapat salah satu tokoh terkenal dalam perjuangan itu, ia adalah Bung Tomo. Bung Tomo sanggup kobarkan semangat para pemuda di Surabaya melalui siaran- siaran radio. Memang saat ini masyarakat Indonesia tidak lagi turut melawan penjajah seperti halnya para pahlawan kala itu. Oleh karena itu sekarang ini tugas untuk para penerus bangsa ini adalah memberikan arti baru mengenai kepahlawanan untuk mengisi kemerdekaan Indonesia ini yang tentunya seiring dengan perkembangan zaman.
Dalam Cengkeraman Oligarki
Saat ini kita tidak lagi dituntut untuk memegang bambu runcing atau senjata laras panjang seperti yang dilakukan para pahlawan kita tetapi perjalanan bangsa ini masih panjang, perjuangan dalam rangka mengusir penjajah-penjajah baru negeri ini masih terus harus dilakukan, saat ini kita memang tidak dijajah oleh bangsa asing, akan tetapi kita dijajah oleh kepentingan oligarki, bersatunya dua kekuatan besar yaitu ekonomi dan politik yang semakin menggurita dari pusat sampai ke daerah. Penjajahan-penjajahan ekonomi inilah yang kemudian menciptakan persoalan baru dalam masyarakat kita, muncul krisis ekonomi, hutang yang semakin menumpuk, distrust atau kepercayaan terhadap pemerintah yang semakin luntur, pada sisi yang lain bangsa ini masih harus berjuang melawan pandemik Covid – 19 yang hingga saat ini belum juga berakhir, persoalan inilah yang membuat bangsa ini semakin tidak menentu. Kebijakan yang banyak menimbulkan kontroversi masih saja sering dipertontonkan diruang publik yang semakin menambah gaduh, hutang negara yang terus meningkat, proyek-proyek kontroversial yang semakin menggerogoti APBN dan tingkah para koruptor yang semakin membudaya.
Jika dahulu para pendahulu kita berperang melawan para penjajah asing maka dengan momentum hari perjuangan rakyat Surabaya 10 November ini kita jadikan hari perlawanan terhadap penjajahan dibidang ekonomi dan politik, hari dimana bangsa ini harus kembali menyingsingkan lengan bajunya untuk melawan dominasi oligarki yang semakin menggurita. jika dulu Bung Tomo dengan suara lantang mengajak rakyat Surabaya untuk mengusir tentara Inggris dan Belanda, maka saat ini kita perlu membangun Narasi Kebangsaan, bukan hanya gemar mendengungkan isu radikalisme, anti NKRI, anti Pancasila yang terus terusan disematkan untuk kelompok masyarakat yang berseberangan dengan pemerintah, akan tetapi membangun narasi kebangsaan dan kebersamaan, perang melawan oligarki dan merebut kekuasaan politik ekonomi dari tangan-tangan pemilik modal (kapitalis), sehingga kedaulatan tertinggi adalah benar-benar menjadi milik rakyat, bukan menjadi milik pemilik modal.
Ongkos politik yang sangat mahal di negeri ini adalah biangkerok dari suburnya praktik kongkalikong antara dua kekuatan besar yakni kekuatan ekonomi dan politik, dari Pusat sampai ke Daerah, inilah yang oleh para pengamat disebut sebagai Demokrasi Kriminal menggunakan terminologi Rizal Ramli, bisa dibayangkan jika seorang calon Gubernur harus menyiapkan ratusan milyard, calon Bupati/ Walikota harus menyiapkan puluhan milyard, Calon Anggota Legislatif/DPR harus meyiapkan 5 – 10 milyard, akibatnya demokrasi hanyalah masalah uang, wajar jika melahirkan banyak kegaduhan, pecitraan palsu, manipulasi suara, sengketa di MK, semua mencerminkan potret buram negeri ini. Karena itu dengan momentum perjuangan rakyat Surabaya yang dikenal dengan hari pahlawan ini kita semua harus meneladani sifat dan sikap para patriot bangsa kita, ada rasa berdosa jika berkhianat merusak tatanan negeri ini, negeri ini warisan para leluhur kita, mereka mewariskan negeri ini dengan penuh perjuangan, dengan darah dan air mata, mari kita jaga bersama, kita lestarikan bersama, kita bangun bersama dalam keragaman dan kebinekaan. Wassalam
*) Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka Jakarta, Anggota Forum Doktor Sospol
Universitas Indonesia, Direktur Heri Solehudin Center.
Baca juga FMPP Liben Gelar Santunan Anak Yatim